Di sebuah warung makan di pinggir jalan terlihat tiga seorang pemuda terlibat percakapan. Memang, selain menjadi tempat makan, “warung liq” ini cukup favorit untuk bercakap-cakap (ngobrol) sambil menghabiskan waktu pengangguran.
“Eh abis ini kamu mau ke mana?” tanya mifta, yang sedang minum kopi di depannya.
“Aku mau ke perpus nih, mau baca buku,” jawab udin sambil mengaduk makanan favoritnya itu.
“Hah ke perpus? Gak usah lebay low,” timpal sang teman dengan nada nyinyir.
“Yah tapi masa jauh-jauh dari rumah gak ngapa-ngapain di kampus,” udin berusaha tetap pada pendiriannya.
“Ah gak gaul kamu,” kata mifta.
“Mending juga jalan-jalan bareng kita yuk,” ajak udin menengahi percakapan mereka berdua
“Ya gimana ya” udin mulai ragu-ragu.
“Ayolah…. daripada ke perpus yang ada malah bikin suntuk,” sergah udin memengaruhi edi.
“Emm….tapi aku kan…” dengan wajah yang mulai memerah edi berusaha menolak.
“Udah ayo ikut kita aja, ntar aku traktir deh,” kata mifta sambil menarik lengan edi keluar dari kantin.
Kejadian itu seringkali dialami anak muda saat ini. Mengurungkan niatnya untuk berbuat kebaikan dan berbelok pada ketidakpastian karena tidak ingin disebut “gak gaul.”
Parahnya, ternyata fenomena tersebut menjadi indikasi atau hambatan bagi seseorang untuk meraih kesuksesan.
Setiap ia melakukan hal yang bermanfaat, langkahnya selalu tertahan karena adanya pengaruh lingkungan yang tidak mendukung.
Karena tercelup pada komunitas yang selalu menjejali hal-hal sia-sia bahkan negatif, ia pun menanggap bahwa melakukan suatu hal yang bermanfaat (kebaikan dan ibadah) merupakan hal yang tabu bagi lingkungan sekitarnya.
Hidup kadang tergantung pada asumsi orang entah yang namanya teman atau siapapun. Anak muda tidak rajin pergi ke masjid karena takut dianggap sebagai orang alim.
Orang yang berinfaq bisa saja mengurungkan niatnya karena takut riya’. Orang yang pergi ke majlis ilmu terkadang berbalik haluan karena takut dijauhui teman-temannya.
Akan tetapi, hidup dengan cara seperti itu amat lucu, sebab diri bukannya takut gagal, tetapi malah tidak berani sukses. Padahal, kesuksesan merupakan hal yang diidamkan dan didambakan.
Untuk mewujudkannya setiap orang mulai menyusun seribu rencana untuk meraih kesuksesan. Akan tetapi kesuksesan memberi beban dan tanggung jawab karena ada konsekuensi yang harus ia jalani setelah ia menjadi orang sukses.
Jika seseorang ingin memiliki ilmu yang banyak, maka ia harus bersiap untuk mengajarkan ilmunya pada orang lain.
Hal tersebut merupakan konsekuensi yang harus dijalankan sebagai orang yang berilmu sebagaimana yang telah dianjurkan dalam ajaran agama Islam.
Demikian juga ketika seorang anak murid ingin menjadi juara kelas, maka ia harus merelakan waktu bermain dengan teman-temannya untuk belajar sungguh-sungguh.
Orang banyak yang takut sukses karena belum siap menerima konsekuensi dari kesuksesan tersebut. Ia belum mau mengajar karena merasa ilmunya masih kurang, belum siap berinfaq karena merasa belum bisa ikhlas dan sebagainya.
Rasulullah adalah pribadi yang meraih kesuksesan dan berani menjadi orang yang sukses. Rasulullah menerima wahyu dari Allah dan sukses mendakwahkan ajaran Islam kepada kerabatnya.
Ajaran yang beliau sampaikan merupakan hal baru yang belum pernah diterima masyarakat jahiliyah zaman dahulu. Karena ajaran baru itulah, Rasulullah dianggap sebagai orang gila oleh orang-orang kafir Quraisy yang membenci Rasulullah. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Qalam: 2
“Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila.”
Untuk itu, ketika kita ingin menjadi orang sukses, maka kita harus berani disebut orang yang anti mainstream dan siap untuk menghadapi orang-orang yang tidak suka melihat kita sukses.
Kita harus siap diolok-olok dan dijauhi oleh orang-orang yang tidak mendukung kita untuk sukses.
Dari sini, kita mengetahui bahwa takut sukses merupakan hal yang tidak dinginkan dalam kehidupan kita.
Dengan demikian, penyakit tersebut harus segera diobati dan bisa menjadi orang yang berani sukses. Agar bisa menyembuhkan penyakit berbahaya tersebut, maka butuh beberapa penawar di antaranya;
Percaya Diri
Percaya diri adalah suatu sikap positif untuk mengukur keteguhan dalam diri seseorang. Percaya diri akan membuat seseorang kuat dalam mengambil suatu tindakan. Allah berfirman dalam QS Ali Imran:139
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”
Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk. Kita harus mengatakan pada diri kita sendiri bahwa kita adalah ciptaan Allah yang memiliki potensi yang baik.
Dalam ayat tersebut dapat dipahami bahwa untuk apa harus berkecil hati sedangkan kita memiliki derajat yang paling tinggi di hadapan Allah. Untuk apa pula harus bersedih sedangkan Allah sudah menyematkan gelar “orang beriman” pada diri kita. Orang yang beriman adalah orang yang selalu optimis dan mempunyai prinsip yang teguh.
Keteguhan dalam diri seseorang merupakan pondasi yang akan menopang diri sendiri saat lemah dan sedang berada di antara persimpangan jalan.
Percaya diri merupakan modal untuk berani sukses. Untuk menumbuhkan rasa percaya diri maka harus meninggalkan energi negatif. Percaya diri akan menjadikan seseorang mampu dalam menghadapi konsekuensi menjadi orang sukses.
Rasa optimis sangat dibutuhkan untuk memberantas ketakutan. Orang yang percaya diri tidak akan goyah dan tidak terpengaruh oleh hal buruk. Percaya diri tentu saja tidak timbul begitu saja, melainkan harus dilatih dan dibiasakan.
Berpikir Positif
Ungkapan-ungkapan yang selalu menghantui di saat kita menjadi orang sukses adalah, “belum bisa ikhlas”, “takut nanti jadi sombong”, “takut dibilang orang alim”, takut dijauhi teman”, “takut dimarahi orang tua”, “takut dibenci” dan lain-lain merupakan pikiran negatif yang dipengaruhi oleh bisikan setan.
Setan selalu menggoda manusia dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mengacaukan pikiran manusia. Ketika pikiran seseorang telah berhasil dikacaukan oleh setan, efeknya sangat negatif.
Berpikir positif adalah selalu berbaik sangka terhadap takdir Allah. Seseorang yang berpikir positif adalah ia yang bisa mengambil hikmah dari setiap apa yang dialaminya, mengambil sisi positif dan membuang jauh sisi negatif. Ia yakin bahwa Allah Maha Adil, selalu ada dan memberikan yang terbaik untuknya. Allah berfirman dalam surah Adh-Dhuha: 3
“Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu “
Berpikir negatif juga merupakan persepsi yang mucul dari dalam diri seseorang. Saat kita tidak mau mengajarkan ilmu yang kita miliki karena merasa belum mempunyai ilmu yang banyak, maka belum tentu orang lain sependapat dengen kita.
Merasa tidak punya ilmu adalah persepsi kita pribadi, sedangkan persepsi orang lain tidaklah demikian. Orang lain menganggap bahwa kita termasuk orang yang pintar sehingga berkewajiban untuk mengajar. Keterbatasan persepsi pribadi itulah yang menjadi kelemahan seseorang untuk tidak bisa tampil percaya diri.
Oleh karenanya, berpikir jernih dan berpikir positif akan menepis segala pengaruh buruk dari dalam maupun luar diri seseorang.
Pikiran sangat berpengaruh pada kesehatan fisik. Banyak penyakit fisik yang berawal dari pikiran. Selain itu pikiran positif akan menumbuhkan ketenangan jiwa dan kebahagiaan. Ketika seseorang menggunakan pikirannya untuk hal yang positif maka ketakutan dalam dirinya akan segera hilang.
Berteman dengan orang shaleh
Untuk meraih kesuksesan maka kita membutuhkan orang-orang yang memberikan support dan motivasi. Lingkungan akan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pertumbuhan seseorang. Berada di tengah-tengah orang yang memiliki akhlak yang baik akan mengingatkan kita pada Allah. Allah berfirman dalam surah Al-Kahfi:28
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di waktu pagi dan petang hari dengan mengharap keridhoan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan orang yang telah Kami jadikan hatinya lalai dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya, dan adalah keadaan mereka itu melampaui batas.”
Ayat tersebut menjelaskan tentang perintah Allah SWT kepada Rasulullah SAW dan setiap orang yang beriman untuk senantiasa bersabar di atas jalan kebenaran bersama-sama dengan orang-orang sholeh.
Ayat tersebut mengingatkan kita untuk selalu mendekat dan berkumpul bersama orang-orang sholeh, yaitu mereka yang senantiasa mengingat Allah. Mereka tidak pernah lepas dari tuntunan agama Islam dan yang mereka harapkan dalam kehidupan dunia ini hanyalah Allah semata.
Ibn Qoyyim berkata “berkumpullah dengan orang-orang shaleh, maka akan mengubah dari enam hal kepada enam hal; dari keraguan (dalam perkara agama) menjadi yakin, dari sikap riya’ menjadi ikhlas beribadah, dari lalai untuk berdzikir menjadi senantiasa berdzikir, dari ambisius menjadi cinta akhirat, dari sifat sombong menjadi tawadhu’, dari niat yang buruk dalam berbicara menjadi senantiasa ikhlas”
Wasiat tersebut akan menjadi motivasi bagi seseorang untuk bisa berani sukses. Rasa takut seketika hilang karena ada orang-orang yang menguatkan dan mengingatkan bahwa kesuksesan hanya dimiliki oleh orang-orang yang pemberani.
Ketika seseorang berada di tengah-tengah orang shaleh maka akan hilang keragu-raguannya, menjadi hamba yang mementingkan akhirat dan senantiasa bertawadhu’.
Dengan demikian, memilih teman merupakan hal yang harus dilakukan untuk berani sukses. Salah satu faktor seseorang jatuh pada kemaksiatan adalah tidak lain karena salah pergaulan.
Teman yang tidak baik akan menunjukkan seseorang pada jalan yang salah. Karena salah dalam memilih teman, maka seseorang akan terbiasa melakukan hal buruk.
Teman yang buruk pasti akan mempengaruhi untuk melakukan hal yang menyimpang. Teman yang buruk mendorong menuju ke lembah maksiat dan mengolok-ngolok apabila enggan mengikutinya. Rasulullah bersabda:
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari).